Sekali Lagi Terima Kasih

Aku merasa Allah mempertemukanku denganmu lagi karena suatu tujuan. Karena setelah bertemu dirimu yang sekarang, kini aku sadar kalo aku telah begitu jauhnya dari jalan-Nya. Aku juga tertinggal jauh darimu.

Setelah berpisah dari sahabat2 seperjuanganku semasa SMA, ternyata aku gagal. Gagal menjaga diri untuk tetap istiqomah di jalan-Nya. Gagal untuk mewarnai lingkunganku, sehingga malah aku yang terwarnai. Gagal menemukan orang2 seperti mereka lagi, yang mengingatkanku di saat aku salah, yang membangkitkanku di saat aku futur, yang selalu menjagaku dari fitnah-fitnah di akhir zaman ini.

Namun berkat kemurahan Allah yang telah menurunkan hidayah-Nya lagi melaluimu, kini aku mengerti. Aku sadar dan aku menyesali dosa-dosaku selama ini. Dan sekarang aku ingin kembali, ke jalan-Nya seperti dulu lagi.

Sekali lagi aku ingin mengucap terima kasih padamu.. :')

Bandung, 28 Juni 2015

-aiz-

Read More......

Terima Kasih

Terima kasih padamu yang telah menumpahkan air mataku malam ini. Bukan karena kau menyakitiku atau apa, tapi karena kau yang dulu ku sebut dalam doa - doaku, kini telah manjadi perempuan luar biasa. Yang selama hampir 5 tahun tak bersua, kini sudah begitu jauh berlari di depanku. Sedangkan di sini diriku masih terdiam dan malah melangkah mundur. Apa yang ku lakukan selama ini?? Ke mana sajakah diriku hingga tak tau kau berlari begitu kencangnya hingga meninggalkanku jauh di belakang?? Masih pantaskah aku mengharapkanmu?! Masih bisakah diriku menjadi pemimpin jalanmu?! Sedangkan untuk sekedar melangkah di sampingmu saja masih sangat jauh.

Doa - doaku yang dahulu kini terkabul, namun diriku sudah terlalu jauh dari jalan-Nya. Mungkin itulah yang membuat hati yang telah mengeras ini bisa basah oleh air mata kesedihan dan penyesalanku.

Dan di pagi hari ini aku ingin mengucap terima kasih padamu. Terima kasih telah membangunkanku dari mimpi burukku. Terima kasih telah meluluhkan hati yang keras oleh dosa - dosa ini. Terima kasih telah menjadi perantara Allah untuk mengingatkanku kembali ke jalan-Nya. Terima kasih juga telah diberi kesempatan untuk mencintaimu. Semoga jika kesempatan itu masih ada, izinkan aku tuk mengejarmu, dan berlari bersamamu, sampai akhir hayatku. :')


Karawang, 16 Juni 2015

-aiz-

Read More......

Salah Kaprah dalam Jihad, Membikin Bencana atas Ummat

“Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” [Isyarat kepada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok pangkal dari semua urusan, tiangnya dan puncaknya yang tertinggi?” Aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)]

Banyak manusia memandang amalan jihad tanpa dilandasi ilmu hingga menyebabkan banyak kekeliruan dan menambah peliknya persoalan. Yang paling parah adalah munculnya penyimpangan yang demikian jauh dari pengertian sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama.

Karena itu, banyak kita saksikan belakangan ini berbagai tindakan dan aksi tertentu yang langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat, namun oleh para pelakunya diklaim sebagai jihad. Padahal, Islam sama sekali tidak memerintahkan amalan tersebut.

Sebagai contoh kecil, sikap suka mengkritisi atau mendiskreditkan pemerintah di depan umum. Bagi para demonstran dari kalangan hizbiyyin, sikap kritis terhadap pemerintah merupakan “menu wajib” yang harus dimiliki. Jadilah demonstrasi yang di dalamnya menjadi ajang untuk mencaci maki pemerintah sebagai bagian dari perjuangan mereka yang tidak terlewatkan. Mereka akan menganggap orang-orang yang memiliki sikap berseberangan dengan mereka sebagai penjilat ataupun kaki tangan pemerintah.

Bahkan tak jarang mereka menganggap orang yang suka mendoakan kebaikan untuk pemerintah sebagai budak pemerintah.
Begitupun dengan amalan lain, seperti melakukan pengeboman terhadap tempat-tempat ibadah orang kafir, membunuh orang-orang kafir dengan bom bunuh diri ataupun merusak fasilitas-fasilitas orang asing yang ada (tanpa melihat hukum syar’i). Semua tindak kedzaliman ini mereka anggap sebagai jihad, yang tidak akan muncul sikap demikian bila mereka memahami makna jihad secara benar.

Definisi Jihad

Kata Al-Jihad (الْجِهاَدُ) dengan dikasrah huruf jim asalnya secara bahasa bermakna (الْمَشَقَّةُ) yang bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan.

Sedangkan secara syar’i bermakna: “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir atau musuh.” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul Mumti’, 8/7)

Berikut beberapa ucapan Ulama Salaf dalam memaknai Al-Jihad.
- Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “(Jihad adalah) mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
- Muqatil rahimahullah berkata: “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar-benarnya dan beribadahlah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
- Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata:“(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Zaadul Ma’ad, 3/8)
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).

Disyariatkannya Jihad dan hukumnya

Dalam permasalahan jihad, pada dasarnya manusia terbagi dalam dua keadaan:
1. Keadaan mereka pada masa kenabian
2. Keadaan mereka setelah kenabian

Masa Kenabian

Para ulama sepakat bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Setelah itu muncul perselisihan di antara mereka tentang hukumnya, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?

Di dalam Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ulama. (Pertama adalah pendapat dari) Al-Mawardi, dia berkata: “(Hukumnya) fardhu ‘ain bagi orang-orang Muhajirin saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan perkara tentang wajibnya hijrah atas setiap muslim ke Madinah dalam rangka menolong Islam. (Kemudian) As-Suhaili, dia berkata: “Fardhu ‘ain atas orang-orang Anshar saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan baiat para shahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah untuk melindungi dan menolong Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari dua pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain atas dua thaifah (kelompok, red. Yakni Muhajirin dan Anshar) dan fardhu kifayah atas selain mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan kalangan Asy-Syafi’iyyah sepaham dengannya lebih menguatkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah (bagi kalangan Muhajirin maupun Anshar-ed). Beliau berhujjah bahwa dalam peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada para shahabat yang ikut dan ada pula yang tidak. Kemudian, walaupun jihad menjadi kewajiban atas orang-orang Muhajirin dan Anshar, namun kewajiban ini tidak secara mutlak.
Sebagian berpendapat, jihad (hukumnya) wajib ‘ain dalam peperangan yang di dalamnya ada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan (wajib ‘ain) pada selainnya. Yang benar dalam hal ini ialah, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dipilih (ditunjuk) oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia tidak keluar ke medan tempur.

Masa setelah Kenabian

Pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada keadaan mendesak, seperti ada musuh yang datang dengan tiba-tiba. Ada pula yang berkata, fardhu ‘ain bagi yang ditunjuk oleh imam (penguasa). Sebagian juga berpendapat wajib selama memungkinkan, dan pendapat ini cukup kuat. Namun yang nampak dalam masalah ini adalah jihad terus-menerus berlangsung pada jaman kenabian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sempurnanya perluasan (ekspansi) ke beberapa negara besar dan Islam menyebar di muka bumi, kemudian setelah itu hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas.

Kesimpulan dari masalah ini adalah, jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta atau dengan hatinya, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/47; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/12)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقاَلاً وَجاَهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (At-Taubah: 41)

يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)

وَجاَهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)

فَلاَ تُطِعِ الْكاَفِرِيْنَ وَجاَهِدْهُمْ بِهِ جِهاَداً كَبِيْراًً
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)

يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Tahrim: 9)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Yaumul Fath (Fathu Makkah): “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diminta untuk pergi atau berangkat berperang maka pergilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz rahimahullah berkata: “Pada hadits ini terdapat berita gembira bahwa kota Mekkah akan tetap menjadi negeri Islam selamanya. Di dalamnya juga terdapat dalil tentang fardhu ‘ainnya keluar dalam perang (jihad) bagi orang yang dipilih oleh imam.” (Fathul Bari, 6/49)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Apabila imam (penguasa) memerintahkan kepada kalian untuk berjihad, maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardhu ‘ain, akan tetapi fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya, gugurlah kewajiban yang lain. Dan jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka. Dari kalangan Asy-Syafi’iyyah berpendapat tentang jihad di masa sekarang hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Dan jika mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup, wajib bagi negeri yang bersebelahan untuk membantunya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/11-12)

Setelah diketahui bahwa pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi tentang hukum jihad pada masa setelah kenabian adalah fardhu kifayah, berikut adalah beberapa keadaan yang menjadikan hukum tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, di mana sebagiannya telah disebut di atas:
1. Apabila bertemu dengan musuh yang sedang menyerang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِذاَ لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوْهُمُ اْلأَدْباَرَ. وَمَنْ يٌوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِقِتاَلٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)

Ayat ini menjelaskan tentang tidak bolehnya seseorang mundur atau berpaling dari menghadapi musuh. Karena yang demikian termasuk perkara terlarang dan tergolong dalam perkara yang membawa kepada kehancuran/ kebinasaan sehingga wajib untuk dijauhi. Sebagaimana yang disebut dalam sebuah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran atau kebinasaan.” Para shahabat bertanya: “Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot/ berpaling (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina kepada wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya (yakni dengan perbuatan zina tersebut-ed) dan (ia adalah wanita yang-ed) beriman kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dua hal yang diperbolehkan bagi seseorang untuk berpaling (mundur) ketika bertemu dengan musuh:
a. Berpaling dalam rangka mendatangkan kekuatan yang lebih besar atau siasat perang.
b. Berpaling dalam rangka menggabungkan diri dengan pasukan lain untuk menghimpun kekuatan.

2. Apabila negerinya dikepung oleh musuh. (Dalam keadaan ini) wajib atas penduduk negeri tersebut untuk mempertahankan negerinya. Keadaan ini serupa dengan orang yang berada di barisan peperangan. Sebab apabila musuh telah mengepung suatu negeri, tidak ada jalan lain bagi penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah masuknya bantuan baik berupa personil, makanan dan yang lainnya. Karena itu wajib atas penduduk negeri untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk pembelaan terhadap negerinya.

3. Apabila diperintah oleh imam. Apabila seseorang diperintah oleh imam untuk berjihad, hendaknya ia mentaatinya. Imam dalam hal ini ialah pemimpin tertinggi negara dan tidak disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin semuanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا ماَ لَكُمْ إِذاَ قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيْتُمْ بِالْحَياَةِ الدُّنْياَ مِنَ اْلآخِرَةِ فَماَ مَتاَعُ الْحَياَةِ الدُّنْياَ فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيْلٌ. إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيْماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوْهُ شَيْئاً وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha dan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian diminta untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan.
Misal dalam hal ini, kaum muslimin memiliki senjata berat seperti artileri, pesawat, atau teknologi tempur lainnya, namun tidak ada yang mampu mengoperasikannya kecuali seseorang. Maka menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut dengan sebab ia dibutuhkan.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, jihad menjadi fardhu ‘ain pada empat perkara:
1. Apabila bertemu dengan musuh
2. Apabila negerinya dikepung musuh
3. Apabila diperintah oleh imam
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan

Pembagian Jihad

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah membagi jihad menjadi tiga:
Pertama
Jihadun Nafs, yaitu menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada Allah. Berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan melawan seruan untuk bermaksiat kepada Allah. Jihad yang seperti ini tentunya akan terasa sangat berat bagi manusia, lebih-lebih saat mereka tinggal di lingkungan yang tidak baik. Karena lingkungan yang tidak baik akan melemahkan jiwa dan mengakibatkan manusia jatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, juga meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.

Kedua
Jihadul Munafiqin, yaitu melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan senjata. Karena orang-orang munafiq tidak diperangi dengan senjata. Para shahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuh orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, kemudian beliau bersabda: “Jangan, supaya tidak terjadi pembicaraan oleh orang, bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (HR. Muslim, dari shahabat Jabir radhiallahu 'anhu)
Jihad melawan mereka adalah dengan ilmu. Oleh karena itu wajib atas kita semua untuk mempersenjatai diri dengan ilmu di hadapan orang-orang munafiq yang senantiasa mendatangkan syubhat terhadap agama Allah untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah. Jika pada diri manusia tidak ada ilmu, maka syubhat, syahwat, dan perkara bid’ah yang datang terus-menerus (akan bisa merusak dirinya), sementara ia tidak mampu menolak dan membantahnya.

Ketiga
Jihadul Kuffar, yaitu memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin, dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, (dan jihad ini dilakukan) dengan senjata. (Asy-Syarhul Mumti’, 8/7-8)

Ibnul Qayyim rahimahullah membagi jihad menjadi empat bagian:
1. Jihadun Nafs (Jihad melawan diri sendiri)
2. Jihadusy Syaithan (Jihad melawan syaithan)
3. Jihadul Kuffar (Jihad melawan kaum kuffar)
4. Jihadul Munafiqin (Jihad menghadapi kaum munafiqin)

Setiap bagian di atas, masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan. Jihadun Nafs memiliki empat tingkatan:
a. Berjihad melawan diri sendiri dengan cara mempelajari kebenaran dan agama yang hak, di mana tidak ada kebahagiaan dan kemenangan dunia dan akhirat kecuali dengannya, dan bila terluputkan darinya akan mengakibatkan sengsara.
b. Berjihad melawan diri sendiri dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari. Karena jika hanya sekedar ilmu tanpa amal, akan memberi mudharat kepada jiwa atau tidak akan ada manfaat baginya.
c. Berjihad melawan diri sendiri dengan mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan diamalkannya, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui. Jika tidak demikian, ia akan tergolong ke dalam orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tidaklah bermanfaat serta tidak menyelamatkannya dari adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Berjihad melawan diri sendiri dengan bersikap sabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan, baik saat belajar agama, beramal dan berdakwah. Barangsiapa telah menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan tegolong orang-orang yang Rabbani (pendidik). Karena para ulama Salaf sepakat bahwa seorang alim tidak berhak diberi gelar sebagai ulama yang Rabbani, sampai ia mengetahui Al-Haq, mengamalkan serta mengajarkannya. Barangsiapa yang berilmu, mengamalkan dan mengajarkannya, ia akan diagungkan di hadapan para malaikat yang berada di langit.

Dalil yang menjelaskan tentang jihadun nafs ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau bersabda bersabda:
“Yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan (menundukkan) dirinya sendiri di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihul Musnad (2/156) dan kitab Al-Jami’ Ash-Shahih (3/184).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ketika jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada di luar diri sendiri (syaithan, kaum kuffar, dan munafikin) merupakan cabang dari jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad lainnya. Karena barangsiapa yang tidak mengawali dalam berjihad melawan diri sendiri dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah, tidak mungkin baginya untuk dapat berjihad melawan musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia mampu berjihad melawan musuh dari luar, sementara musuh yang datang dari dirinya sendiri dapat menguasai dan mengalahkannya?”

Jihadusy Syaithan, ada dua tingkatan:
a. Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithan kepada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman.
b. Berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Dari dua tingkatan ini, untuk tingkatan pertama barangsiapa yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Dan tingkatan yang kedua akan membuahkan kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَجَعَلْناَ مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِناَ لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياَتِناَ يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimipin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya akan diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, adapun keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.

Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ الشَّيْطاَنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perintah Allah dalam ayat ini agar menjadikan syaithan sebagai musuh, menjadi peringatan akan adanya keharusan mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi syaithan, berjihad melawannya. Karena syaithan itu bagaikan musuh yang tidak mengenal putus asa, lesu, dan lemah dalam memerangi dan menggoda seorang hamba dalam selang beberapa nafas.” (Zaadul Ma’ad, 3/6)
Jihadul Kuffar wal Munafiqin ada empat tingkatan:
a. Berjihad dengan hati
b. Berjihad dengan lisan
c. Berjihad dengan harta
d. Berjihad dengan jiwa

Dalil yang menjelaskan tentang bagian ketiga dan keempat ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Jihad melawan kaum kuffar lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan), sedangkan melawan kaum munafiq lebih dikhususkan dengan lisan.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran. Terdapat tiga tingkatan:
a. Berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada yang berikutnya
b. Berjihad dengan lisan, jika tidak mampu berpindah kepada yang berikutnya
c. Berjihad dengan hati

Dalil yang menjelaskan tentang bagian akhir ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari semua tingkatan dalam jihad yang tersebut di atas, terkumpullah tiga belas tingkatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang serta tidak pernah terbersit (cita-cita untuk berperang) dalam dirinya, (maka ia) meninggal di atas satu bagian dari nifaq.” (HR. Muslim)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak sempurna jihad seseorang kecuali dengan hijrah. Dan tidak akan ada hijrah dan jihad kecuali dengan iman. Orang-orang yang mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah yang mampu menegakkan tiga hal tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218)

Sebagaimana iman merupakan kewajiban atas setiap orang, maka wajib atasnya pula untuk melakukan dua hijrah pada setiap waktunya, yaitu hijrah kepada Allah dengan (amalan) tauhid, ikhlas, inabah, tawakkal, khauf, raja’, mahabbah dan hijrah kepada Rasul-Nya dengan (amalan) mutaba’ah, menjalankan perintahnya, membenarkan segala berita yang datang darinya, dan mengedepankan perkara dan berita yang datang dari beliau atas selainnya.

Manusia yang paling sempurna di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala ialah yang menyempurnakan seluruh tingkatan jihad di atas. Mereka berbeda-beda tingkatannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai dengan penempatan diri mereka terhadap tingkatan jihad tersebut. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beliau telah menyempurnakan seluruh tingkatan jihad yang ada dan beliau telah berjihad dengan jihad yang sebenar-benarnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan jihad sejak awal diutus hingga wafatnya, baik dengan tangan, lisan dan hati serta hartanya. (Zaadul Ma’ad, 3/9-11)
Wallahu a’lam.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 13/1426 H/2005, judul asli "Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad, karya Al Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin - murid asy syaikh Muqbil rahimahullah -, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=245)
www.salafy.or.id/2005/03/06/salah-jihad

Read More......

Abu Bakar Ash Shiddiq

Nama asli beliau sebenarnya adalah Abdullah bin Abu Quhafah – Usman – bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Taimi. Beliau lahir di Makkah sekitar 2 tahun sesudah rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan. Secara fisik beliau adalah orang yang berkulit putih dan berbadan kurus namun wajahnya tetap tampan dan terlihat gagah sehingga banyak juga yang menjulukinya Atiq. Adapun akhlaknya, beliau dikenal sebagai orang yang penyabar, lembut, zuhud pada dunia, pemberani, kuat pendiriannya, dan memiliki azimah (keinginan yang keras), serta yakin terhadap ayat-ayat Allah. Beliau mendapat gelar Ash Shiddiq karena selalu membenarkan apa-apa yang diberitakan rasulullah.

Dan ketika beliau ditanya: “Apakah engkau pernah meminum khomr dimasa jahiliyah?” beliau menjawab: “A’udzubillah (aku berlindung kepada Allah)”, kemudian beliau ditanya lagi, “Kenapa?” , beliau menjawab : “Aku menjaga dan memelihara muru’ahku (kehormatanku), apabila aku minum khomr maka hal itu akan menghilangkan kehormatan dan muru’ahku.”
Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang masuk Islam setelah Khadijah. Keislaman beliau sangat bermanfaat bagi Islam karena beliau memiliki kedudukan tinggi sehingga banyak tokoh-tokoh besar Quraisy lainnya yang masuk Islam, seperti Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Setelah Abu Bakar telah bersyahadat, beliau menginfakkan 40.000 dirham hartanya untuk Islam, serta membebaskan budak-budak Islam yang dianiaya majikannya. Setelah itu beliau menjadi orang terdekat rasulullah yang selalu mengiringinya dimanapun rasulullah pergi, bahkan beliau pernah menemani rasulullah hijrah dan bersembunyi di dalam gua dari kejaran kaum musyrikin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata : “Tidaklah seorang nabi pun kecuali ia memiliki dua wazir (pendamping) dari penduduk langit dan dua wazir dari penduduk bumi, adapun pendampingku dari penduduk langit adalah malaikat Jibril dan Mika’il, sedangkan pendampingku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar”.
Para ulama’ pun telah ber ijma’ bahwa manusia termulia setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab, kemudian utsman bin Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian sepuluh orang sahabat yang di khabarkan masuk surga, kemudian seluruh sahabat yang mengikuti perang Badar (ahlu badar), kemudian para sahabat yang mengikuti perang Uhud, kemudian para sahabat yang mengikuti Ba’iat Ridwan (ahlu bai’at), kemudian sahabat-sahabat lainnya yang tidak termasuk sebelumnya.
Dari Anas Abu Bakar radhiyallahu anhu berkata, “Kukatakan kepada nabi shalallahu ‘alihi wa sallam ketika kami berada dalam gua, ‘Andai saja mereka (orang-orang musyrikin) melihat ke bawah kaki mereka pastilah kita akan terlihat.’ Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang manusia sementara Allah menjadi yang ketiga?”
Saat rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat Abu Bakar mencium keningnya, kemudian beliau membacakan ayat Al Qur’an: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144). Beliau membacakannya supaya rasulullah tidak dijadikan sesembahan orang-orang setelahnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu` anhuma berkata : “Demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”
Setelah kewafatan rasulullah, Abu Bakar diangkat sebagai khalifah. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata: “Sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Abu Bakar mendengarnya dan menjawab: “Tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.”
Setelah menginjak umur 63 tahun Abu Bakar meninggal dunia, tepatnya pada malam Selasa antara waktu maghrib dan isya’ tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Sebelumnya beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu wasiat itu dilaksanakan dan Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah).

Read More......

Rasulullah SAW Sebagai Petunjuk bagi Kaum Jin dan Manusia

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ. قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا أَجِيْبُوا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَمَنْ لاَ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ أَولِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ

“Dan ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yg mendengarkan Al-Qur`an mk tatkala mereka menghadiri pembacaan lalu mereka berkata: ‘Diamlah kamu ’. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaum memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Hai kaum kami sesungguh kami telah mendengarkan kitab yg telah diturunkan sesudah Musa yg membenarkan kitab-kitab yg sebelum lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yg lurus. Hai kaum kami sambutlah penyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yg pedih. Dan orang yg tdk menerima orang yg menyeru kepada Allah mk dia tdk akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tdk ada bagi pelindung selain Allah. Mereka itu dlm kesesatan yg nyata’.”


Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

صَرَفْنَا

Kami hadapkan makna Kami mengarahkan dan mengutus kepadamu.

كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى

Kitab yg telah diturunkan sesudah Musa. Yang dimaksud kitab di sini adl Al-Qur`an yg sebelum mereka beriman dgn apa yg diturunkan kepada Musa ‘alaihissalam.
Atha` rahimahullahu berkata: Mereka sebelum beragama Yahudi kemudian masuk Islam. Oleh karena disebutkan “diturunkan setelah Musa.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: Jin tersebut tdk mendengar tentang diutus Nabi Isa ‘alaihissalam oleh karena disebutkan “diturunkan setelah Musa.”

مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَِ

Membenarkan kitab yg sebelum yaitu Taurat.

أَجِيْبُوا دَاعِيَ اللهِ

Sambutlah penyeru kepada Allah. Yang dimaksud penyeru di sini adl Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul terakhir yg diutus kepada seluruh manusia dan jin. Di mana seluruh Nabi dan Rasul sebelum tdk diutus kepada jin dan manusia secara keseluruhan sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Sebab Turun Ayat
Diriwayatkan Al-Hakim dlm Mustadrak- dgn sanad dari Zir bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata: Mereka turun ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm keadaan beliau sedang membaca Al-Qur`an di sebelah pohon kurma. Tatkala mereka mendengar merekapun diam dan berkata: “Diamlah kalian.” Mereka berjumlah sembilan salah seorang dari mereka bernama Zuba’ah. mk Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya ini.”
Al-Hakim berkata: Sanad shahih. Dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Baihaqi melalui jalur Al-Hakim dgn sanad ini dlm Dala`il An-Nubuwwah .

Penjelasan Ayat
Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh makhluk manusia dan jin. mk merupakan keharusan bagi utk menyampaikan seluruh tugas dakwah sebagai Nabi dan Rasul. Kepada manusia memungkinkan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi dan memberi peringatan kepada mereka. Adapun jin mk Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan mereka kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn kekuasaan-Nya dan mengutus kepada beliau “sekelompok jin utk mendengarkan Al-Qur`an. Ketika mereka telah hadir mereka berkata: “Diamlah kalian.” Makna yaitu: Mereka saling mengingatkan utk diam.
“Ketika telah selesai” dan mereka telah menghafal serta memberi pengaruh pada mereka “merekapun kembali kepada kaum utk memberi peringatan” berupa nasehat utk mereka dan menegakkan hujjah Allah atas mereka. Allah memilih mereka utk membantu Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm menyebarkan dakwah utk kalangan para jin. Mereka berkata: “Wahai kaum kami sesungguh kami telah mendengarkan sebuah kitab yg diturunkan setelah Musa.” Sebab kitab Musa merupakan asal dari kitab Injil sebagai sandaran bagi Bani Israil dlm hukum-hukum syariat. Sedangkan Injil hanyalah penyempurna dan mengubah sebagian hukum . “Membenarkan kitab-kitab sebelumnya” yg mana kitab yg kami dengar ini “memberi petunjuk kepada kebenaran” dlm tiap berita dan pencarian serta “membimbing ke arah jalan yg lurus” menuju Allah yg sampai kepada surga-Nya dgn mempelajari ilmu tentang Allah hukum-hukum agama-Nya dan hari pembalasan.
Ketika mereka telah memuji Al-Qur`an dan menjelaskan kedudukan mereka pun mengajak kaum utk mengimani. Mereka berkata: “Wahai kaum kami penuhilah panggilan penyeru kepada Allah” yg tdk mengajak kecuali kepada Rabbnya. Dia tdk menyeru kalian kepada tujuan tertentu tdk pula kepada hawa nafsu. Namun dia mengajak kepada Rabb kalian agar Allah memberimu pahala dan menghilangkan tiap kejahatan dan apa-apa yg tdk disukai dari dirimu. Oleh karena mereka mengatakan: “Allah mengampuni dosa kalian dan melindungi kalian dari adzab yg pedih.” Sehingga jika Allah melindungi kalian dari adzab yg pedih mk tdk ada lain setelah itu kecuali keni’matan. Dan inilah balasan bagi yg menyambut penyeru kepada jalan Allah.
“Barangsiapa yg tdk memenuhi panggilan penyeru kepada jalan Allah tidaklah menjadikan Allah tdk mampu di muka bumi.” Karena sesungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Orang yg lari dari-Nya tdk akan dapat menghindar dan Dia tdk pula bisa dikalahkan oleh sesuatupun.
“Dan mereka tdk mempunyai penolong selain-Nya. Mereka itulah yg berada dlm kesesatan yg nyata.” Kesesatan siapa lagi yg lbh besar daripada orang yg telah diseru para rasul dan telah sampai kepada peringatan dgn berbagai tanda kekuasaan-Nya serta hujjah yg mutawatir namun kemudian dia berpaling dan membangkang?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Diutus utk Seluruh Jin dan Manusia
Tidak ada perselisihan di kalangan kaum muslimin satu kelompok pun bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh jin dan manusia. Sebagaimana telah diriwayatkan dlm Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Aku telah diberikan lima hal yg tdk diberikan kepada seorangpun dari kalangan para nabi sebelumku: Aku diberi pertolongan dgn ditanamkan rasa takut sejarak satu bulan perjalanan. Dan telah dijadikan bagiku seluruh bumi sebagai masjid dan alat bersuci. mk siapa saja di kalangan umatku yg mendapati waktu shalat hendaklah dia shalat. Dan dihalalkan bagiku harta rampasan perang dan tdk dihalalkan kepada seorangpun sebelumku. Dan aku diberi syafaat dan adl nabi sebelumku diutus kepada kaum secara khusus sedangkan aku diutus kepada seluruh an-naas.”
Ibnu ‘Aqil berkata: “Jin termasuk ke dlm penamaan an-naas secara bahasa.”
Ar-Raghib berkata: “An-Naas adl jenis makhluk hidup yg berfikir dan berperasaan dan jin termasuk yg berfikir dan berperasaan.”
Al-Jauhari berkata: “An-Naas termasuk dari kalangan jin dan juga manusia.”
Hal ini dikuatkan dgn riwayat yg berasal dari Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ إِلَى اْلأَحْمَرِ وَاْلأَسْوَدِ

“Aku diutus kepada yg merah dan yg hitam.”
Mujahid bin Jabr menafsirkan hadits ini dgn makna jin dan manusia.
Dalam riwayat Muslim dgn lafadz:

بُعِثْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً

“Aku diutus kepada seluruh makhluk.”
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: Mereka tdk berbeda pendapat bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada jin dan manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Ini termasuk keistimewaan beliau dibandingkan para nabi yakni dgn diutus beliau kepada seluruh jin dan manusia. Sedangkan yg lain tdk diutus kecuali hanya kepada kaum demikian pula terhadap para nabi yg lainnya. Hal ini juga disebutkan Imamul Haramain dlm kitab Al-Irsyad saat membantah firqah Al-Isawiyyah: “Dan sungguh kami mengetahui secara pasti bahwa beliau diutus kepada dua tsaqalain .”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Muhammad kepada seluruh tsaqalain: jin dan manusia dan mewajibkan kepada mereka beriman kepada dan kepada apa yg dibawa serta mentaatinya. Juga agar mereka menghalalkan apa yg dihalalkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan apa yg diharamkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan apa yg diwajibkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai apa-apa yg dicintai Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenci apa-apa yg dibenci Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan siapa saja dari kalangan jin dan manusia yg telah ditegakkan hujjah atas berupa risalah yg dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun dia tdk beriman kepada mk dia berhak mendapatkan hukuman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana hukuman yg diberikan kepada orang2 kafir yg yg para rasul diutus ke tengah-tengah mereka. Ini merupakan prinsip yg telah disepakati para shahabat tabi’in para imam kaum muslimin dan seluruh kelompok muslimin baik Ahlus Sunnah wal Jamaah maupun yg lainnya.”
Dan pada ayat yg ke-32 yg menyatakan “Dan orang yg tdk menerima penyeru kepada Allah mk dia tdk bisa melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tdk ada bagi pelindung selain Allah. Mereka itu dlm kesesatan yg nyata” sangat jelas menunjukkan bahwa kalangan jin yg tdk beriman dgn apa yg dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mk dia kafir.

Adakah Rasul dari Kalangan Jin?
Jumhur ulama baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf menyatakan bahwa tdk satupun rasul yg diutus yg berasal dari kalangan jin dan rasul hanya berasal dari kalangan manusia. Pendapat ini dinukil dari Ibnu ‘Abbas Ibnu Juraij Mujahid Al-Kalbi Abu ‘Ubaid dan Al-Wahidi. Dan ayat ini merupakan salah satu dalil yg menunjukkan bahwa dari kalangan jin tdk terdapat rasul namun yg ada hanyalah para pemberi peringatan. Ibnu ‘Abbas berkata: “Para rasul dari anak cucu Adam dan dari kalangan jin adl nudzur .”
Demikian pula firman Allah:

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوْحٍ وَالنَّبِيِّيْن مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَاْلأَسْبَاطِ وَعِيْسَى وَأَيُّوْبَ وَيُوْنُسَ وَهَارُوْنَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُدَ زَبُوْرًا. وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلاً لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا. رُسُلاً مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

“Sesungguh Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yg sesudah dan Kami telah memberikan wahyu kepada Ibrahim Isma’il Ishaq Ya’qub dan anak cucu ‘Isa Ayyub Yunus Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan rasul-rasul yg sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu dan rasul-rasul yg tdk Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dgn langsung. selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tdk ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutus rasul-rasul itu. Dan adl Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam:

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِيْنَ

“Dan Kami anugrahkan kepada Ibrahim Ishak dan Ya’qub dan Kami jadikan kenabian dan Al Kitab pada keturunan dan Kami berikan kepada balasan di dunia; dan sesungguh dia di akhirat benar-benar termasuk orang2 yg shalih.”
Dalam ayat ini Allah membatasi kenabian dan pemberian kitab setelah Ibrahim pada keturunannya. Dan tdk seorangpun manusia yg mengatakan bahwa kenabian dari kalangan jin pernah terjadi sebelum diutus Ibrahim lalu terputus setelah beliau diutus. Demikian pula firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ إِلاَّ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ وَيَمْشُوْنَ فِي اْلأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُوْنَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيْرًا

“Dan Kami tdk mengutus rasul-rasul sebelummu melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yg lain. Maukah kamu bersabar? Dan adl Rabbmu Maha Melihat.”
Dan firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوْحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى أَفَلَمْ يَسِيْرُوا فِي اْلأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ اْلآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ

“Kami tdk mengutus sebelum kamu melainkan orang laki2 yg Kami berikan wahyu kepada di antara penduduk negeri. mk tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang2 sebelum mereka dan sesungguh kampung akhirat adl lbh baik bagi orang2 yg bertakwa. mk tidakkah kamu memikirkannya?”
Semua dalil ini menguatkan pendapat jumhur yg menyatakan bahwa rasul seluruh dari kalangan manusia dan tdk satupun dari kalangan jin.
Ada sebagian ulama yg berpendapat bahwa dari kalangan jin terdapat rasul tersendiri sebagaimana manusia. Di antara adl Adh-Dhahhak bin Muzahim dan dia berdalil dgn firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِيْنَ

“Hai golongan jin dan manusia apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yg menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu akan pertemuanmu dgn hari ini? Mereka berkata: ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adl orang2 yg kafir.”
Sisi pendalilan ayat ini bahwa lafadz: “Wahai sekalian jin dan manusia bukankah telah datang kepadamu para rasul dari kalian” dipahami bahwa dari manusia ada rasul dari kalangan mereka mk demikian pula dari kalangan jin.
Namun pendalilan ini sangat lemah sebab ayat ini tdk jelas menunjukkan atas apa yg dimaukan. Seperti firman Allah:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ. بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لاَ يَبْغِيَانِ. فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ. يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yg kedua kemudian bertemu antara kedua ada batas yg tdk dilampaui oleh masing-masing. mk ni’mat Rabb kamu yg manakah yg kamu dustakan? Dari kedua keluar mutiara dan marjan.”
Padahal mutiara dan marjan tersebut hanyalah dikeluarkan dari laut yg asin dan bukan yg tawar. Dan ini adl perkara yg jelas sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir rahimahullahu.
Wallahu a’lam bish-shawab.

penulis Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
Syariah Tafsir

Read More......

Apa itu Ghozwul Fikri?

Ghozwul fikri atau perang pemikiran dimulai ketika kaum salibis dikalahkan 9 kali dalam peperangan besar oleh kaum Muslimin. Mereka berfikir keras bagaimana cara mengalahkan umat Islam, akhirnya mereka ingin mendalami Islam terlebih dahulu. Kesungguhan kaum salibis dalam mempelajari Islam tersebut memang luar biasa sampai di dalam sejarah diungkap seorang dari mereka rela meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk berkeliling di negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan umat Islam. Diantara pernyataan mereka adalah, “percuma saja kita berperang melawan umat islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka (Al-qur’an dan As-Sunnah). Jika komitmen mereka terhadap agama mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena itu tugas kita sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka. Barulah kita mudah mengalahkan Umat Islam.” Gladstone, salah seorang perdana menteri inggris menyimpulkan, “Selama Al-qur’an ada di tangan Umat Islam, tidak mungkin eropa akan menguasai dunia timur.”

Strategi perang kemudian diubah dari perang fisik ke perang pemikiran. Berbagai upaya dibuat untuk mengalihkan umat Islam dari agamanya. Serangan dilancarkan melalui hiburan, olahraga, dan segmen yang menarik lainnya. Sehingga tanpa disadari umat Islam sudah mengikuti mereka bahkan menjadi pendukung program-program yang mereka adakan.

Beberapa jenis perang pemikiran yang perlu diwaspadai pada saat ini diantaranya: Apa itu Ghozwul Fikri?
Share
Sunday, 11 July 2010 at 11:08 | Edit note | Delete
Ghozwul fikri atau perang pemikiran dimulai ketika kaum salibis dikalahkan 9 kali dalam peperangan besar oleh kaum Muslimin. Kemenangan kaum Muslimin sangat spektakuler karena semua peperangan yang terjadi diluar perkiraan akal manusia. Misalnya, kholid bin walid dengan 3000 pasukan pernah mengalahkan 100.000 pasukan romawi.

Mereka berfikir keras bagaimana cara mengalahkan umat Islam, akhirnya mereka ingin mendalami Islam terlebih dahulu. Kesungguhan kaum salibis dalam mempelajari Islam tersebut memang luar biasa sampai di dalam sejarah diungkap seorang dari mereka rela meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk berkeliling di negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan umat Islam. Diantara pernyataan mereka adalah, “percuma saja kita berperang melawan umat islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka (Al-qur’an dan As-Sunnah). Jika komitmen mereka terhadap agama mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena itu tugas kita sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka. Barulah kita mudah mengalahkan Umat Islam.” Gladstone, salah seorang perdana menteri inggris menyimpulkan, “Selama Al-qur’an ada di tangan Umat Islam, tidak mungkin eropa akan menguasai dunia timur.”

Strategi perang kemudian diubah dari perang fisik ke perang pemikiran. Berbagai upaya dibuat untuk mengalihkan umat Islam dari agamanya. Serangan dilancarkan melalui hiburan, olahraga, dan segmen yang menarik lainnya. Sehingga tanpa disadari umat Islam sudah mengikuti mereka bahkan menjadi pendukung program-program yang mereka adakan.

Beberapa jenis perang pemikiran yang perlu diwaspadai pada saat ini diantaranya:


1. Perusakan akhlak

Dalam berbagai media massa musuh-musuh Islam melancarkan program – program yang bertujuan merusak akhlak generasi muslim mulai dari anak-anak, remaja, maupun dewasa. Diantara perusakan itu adalah lewat majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Dengan cara itu mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang generasi islam berkiblat kepada mereka.

2. Perusakan Pola Fikir

Dengan memanfaatkan media, baik cetak maupun elektronik, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum Muslimin. Seringkali mereka menyematkan gelar seperti teroris, fundamentalis, ekstrimis, islam garis keras, dll kepada kaum muslimin yang berjuang mempertahankan kemerdekaan negeri mereka dari penguasaan para penjajah yang zalim. Sementara itu mereka mendiamkan setiap aksi para perusak serta penindas yang sejalan dengan mereka seperti zionis yahudi yang menjajah palestina. Berita yang sampai kepada kaum muslimin benar-benar jauh dari realitas bahkan sengaja diputarbalikkan dari kenyataan yang sesungguhnya.

3. Sekulerisasi pendidikan

Hampir diseluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan di sekolah sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi islam pada masa penjajahan (imperialisme) untuk menghancurkan islam dari tubuhnya sendiri.

4. Pemurtadan

Ini adalah program yang paling jelas kita saksikan. Secara terang-terangan orang-orang non-muslim menawarkan “bantuan” ekonomi, mulai dari bahan makanan, rumah, jabatan, beasiswa, dan lain-lain untuk menggoyahkan iman kaum muslimin.

Samuel zwemmer dalam konferensi Al-Quds untuk para pastur pada tahun 1935 mengatakan, “Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian, akan tetapi menjauhkan mereka dari agama mereka (Al-Qur’an dan Sunnah) sehingga mereka menjadi orang-orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesamanya (saling bermusuhan) menjadi terpecah-belah dan jauh dari persatuan. Dengan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka sendiri sesuai dengan tujuan kalian.”

Semoga Alloh selalu menjaga kita dari setiap makar yang mereka lakukan. Wallahul musta’an.

( http://islam4all.blog.uns.ac.id/2010/01/26/ghozwul-fikri/
1. Perusakan akhlak

Dalam berbagai media massa musuh-musuh Islam melancarkan program – program yang bertujuan merusak akhlak generasi muslim mulai dari anak-anak, remaja, maupun dewasa. Diantara perusakan itu adalah lewat majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Dengan cara itu mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang generasi islam berkiblat kepada mereka.

2. Perusakan Pola Fikir

Dengan memanfaatkan media, baik cetak maupun elektronik, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum Muslimin. Seringkali mereka menyematkan gelar seperti teroris, fundamentalis, ekstrimis, islam garis keras, dll kepada kaum muslimin yang berjuang mempertahankan kemerdekaan negeri mereka dari penguasaan para penjajah yang zalim. Sementara itu mereka mendiamkan setiap aksi para perusak serta penindas yang sejalan dengan mereka seperti zionis yahudi yang menjajah palestina. Berita yang sampai kepada kaum muslimin benar-benar jauh dari realitas bahkan sengaja diputarbalikkan dari kenyataan yang sesungguhnya.

3. Sekulerisasi pendidikan

Hampir diseluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan di sekolah sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi islam pada masa penjajahan (imperialisme) untuk menghancurkan islam dari tubuhnya sendiri.

4. Pemurtadan

Ini adalah program yang paling jelas kita saksikan. Secara terang-terangan orang-orang non-muslim menawarkan “bantuan” ekonomi, mulai dari bahan makanan, rumah, jabatan, beasiswa, dan lain-lain untuk menggoyahkan iman kaum muslimin.

Samuel zwemmer dalam konferensi Al-Quds untuk para pastur pada tahun 1935 mengatakan, “Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian, akan tetapi menjauhkan mereka dari agama mereka (Al-Qur’an dan Sunnah) sehingga mereka menjadi orang-orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesamanya (saling bermusuhan) menjadi terpecah-belah dan jauh dari persatuan. Dengan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka sendiri sesuai dengan tujuan kalian.”

Semoga Alloh selalu menjaga kita dari setiap makar yang mereka lakukan. Wallahul musta’an.( http://islam4all.blog.uns.ac.id/2010/01/26/ghozwul-fikri/ )

Read More......